Negara Indonesia ini memang terbentuk melalui proses panjang atas dasar kesepakatan dan kesadaran nasionalisme para pemuda dan terpelajar saat itu. Mereka tidak hanya berasal dari satu suku bangsa, tetapi mereka berasal dari suku-suku bangsa yang ada di Hindia-Belanda pada waktu itu. Begitu pula dalam hal keyakinan mereka sadar bahwa mereka memang berbeda, akan tetapi mereka yakin, bahwa mereka mempunyai tujuan yang mulia, yaitu mencapai Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Catatan sejarah menunjukkan, bahwa pada awal abad ke-20 keindonesiaan digagas oleh kalangan pemuda terpelajar. Pada tahun 1922, De Indishe Vereeninging, yaitu suatu perkumpulan mahasiswa Hindia (nama sebelum menjadi Indonesia) yang berada di negeri Belanda, nama itu kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeninging. Ketika nama Indonesia itu digunakan oleh para kaum muda terpelajar Hindia yang sedang belajar di negeri Belanda konsep Indonesia menjadi sebuah konsep politik. Maka, organisasi yang mulanya merupakan perkumpulan sosial kemahasiswaan berubah menjadi organisasi yang memperlihatkan kecenderungan politik. Jadi penggunaan nama Indonesia bukan hanya sekedar didasarkan atas kondisi geografis dan antropologis saja. Pada tahun 1923, perkumpulan itu berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Jelaslah bahwa keinginan kuat para pelajar itu untuk menampilkan diri sebagai kekuatan nasionalisme Indonesia. Kenyataan itu menunjukkan hasrat kuat para pemuda itu untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Begitu pula dengan majalah organisasi itu juga diubah namanya dariHindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka.
- Menganalisis Tumbuhnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Koran di era itu memiliki makna yang strategis dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Koran dapat memuat ide-ide pembaruan, ide-ide nasionalisme
sehingga bisa menggelorakan semangat kebangsaan pada setiap jiwa rakyat Indonesia. Pada uraian berikut ini kita akan mengkaji tentang tumbuhnya ruh kebangsaan Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari peran pers, juga adanya gerakan pembaruan dalam Islam dan sudah tentu sangat terkait dengan bagaimana kebijakan Pemerintah Belanda .
- Politik Etis
Memasuki abad ke-20, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mendorong untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Kebijakan itu diikuti dengan penaklukkan terhadap wilayah-wilayah yang belum dikuasai, jika perlu dengan pendekatan militer. Daerah-daerah kolonial yang masih terpisah disatukan dalam penerapan adminstrasi baru yang berpusat di Batavia, yang disebut Pax Neerlandica. Pemerintah kolonial pun melakukan perjanjian-perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam birokrasi kolonial. Sementara itu pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang berbasis pada sistem kapitalisme Barat melalui komersialisasi, sistem moneter, dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah, sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran. Dampak dari itu kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus dan intelektual di Hinda Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer dalam tulisannya yang berjudul “Een Eereschlud’ (hutang kehormatan), yang dimuat di majalah De Gids(1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Kritikan itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, beberapa kelompok yang sependapat dengan Van Deventer mengungkapkan perlunya suatu kewajiban moral bagi Belanda untuk memberikan balas budi. Ratu Wilhelmina kemudian mengeluarkan suatu kebijakan baru bagi masyarakat Hindia Belanda yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan baru itu adalah Politik Etis.
Awal abad ke-20, politik kolonial memasuki babak baru, yaitu era Politik Etis, yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916) Ada tiga program Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi. Adanya Politik Etis membawa pengaruh besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol baru yaitu “kemajuan”. Dunia mulai bergerak dan berbagai kehidupanpun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura. Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu. Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial memberikan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi. Di samping itu pemerintah juga melakukan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan daerah di Sumatera.
Zaman kemajuan ditandai dengan adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan inspirasi bagi kaum etis pada saat itu. Semangat era etis adalah kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat adalah tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu. Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara, akan tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Pengaruh pendidikan Barat memunculkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memunculkan kesadaran, bahwa rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Golongan intelektual bumiputra itu disebut “priyayi baru” yang sebagian besar adalah guru dan jurnalis di kota-kota.
Para kaum muda terpelajar membentuk kesadaran “nasional” sebagai bumiputra di Hindia, dan bergerak bersama “bangsa-bangsa” lain dalam garis waktu yang tidak terhingga menuju modernitas, suatu dunia yang memberi makna baru bagi kaum pelajar terdidik saat itu. Mereka tentunya tidak mengenal satu sama lain di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan seluruh wilayah Hindia. Mereka saling berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka.
Pemerintah Kolonial Belanda juga membentuk Volksraad (Dewan Rakyat) yang sejumlah tokoh Indonesia bergabung di dalamnya. Mereka itu penggerak wacana perubahan di lembaga tersebut.
- Pers Membawa Kemajuan
Orang-orang pertama yang aktif dalam dunia pers saat itu adalah orang Indo seperti H.C.O. Clockener Brousson dari Bintang Hindia, E.F Wigger dari Bintang Baru, dan G. Francis dari Pemberitaan Betawi. Pada abad itu penerbit Tionghoa mulai bermunculan. Para penerbit Tionghoa itulah yang menjadikan pertumbuhan surat kabar berkembang pesat. Penerbit bumiputra pertama di Batavia yang muncul pada pertengahan abad ke-20 adalah R.M. Tirtoadisuryo, F.D.J Pangemanan, dan R.M. Tumenggung Kusuma Utaya, sebagai redakturIlmoe Tani, Kabar Perniagaan, dan Pewarta Prijaji.
Di Surakarta R.Dirdjoatmojo menyunting Djawi Kanda yang diterbitkan oleh Albert Rusche & Co., Di Yogjakarta Dr. Wahidin Sudirahusada sebagai redaktur jurnal berbahasa Jawa, Retnodhoemillahditerbitkan oleh Firma H. Buning.
- Tirtodanudja dan R. Mohammad Jusuf adalah redaktur Sinar Djawa, yang diterbitkan Honh Thaij & Co. Djojosudiro, redaktur Tjahaja Timoeryang diterbitkan di Malang oleh Kwee Khaij Khee. Di Bandung Abdull Muis sebagai redaktur Pewarta Hindia yang diterbitkan oleh G. Kolff & Co.
Rivai menggolongkan masyarakat menjadi tiga golongan, yaitu kaum kolot, kaum kuno, dan kaum muda. Menurut Rivai, kaum muda adalah orang yang senantiasa ingin mendapatkan harga diri melalui pengetahuan dan ilmu. Untuk mencapai kemajuan dan terwujudnya dunia maju, Rivai menganjurkan agar ada organisasi bernama Persatuan Kaum Muda didirikan dengan cabang di semua kota-kota penting di Hindia.
Seorang pensiunan “dokter Jawa” yaitu Wahidin Soedirohoesodo tertarik dengan tulisan Rivai. Saat itu ia sebagai editor majalah berbahasa Jawa, Retnodhumilah, dalam tulisan itu disarankan agar kaum lanjut usia dan kaum muda membentuk organisasi pendidikan yang bertujuan untuk memajukan masyarakat. Gagasan Wahidin akhirnya terwujud ketika para pelajar “Stovia”, Sekolah dokter Jawa, mendirikan suatu organisasi bernama Boedi Oetomo, pada 2 Mei 1908.
Surat kabar yang paling mendapat perhatian pemerintah kolonial adalah De Express. Surat kabar itu memuat berita-berita propaganda ide-ide radikal dan kritis terhadap sistem pemerintahan kolonial. Puncaknya saat Cipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Abdul Muis mendirikan Comite tot Herdenking van Nederlands Honderdjarige Vrijheid (Panitia untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda dari Perancis), yang kemudian disebut dengan Komite Boemipoetera (1913).
- Modernisme dan Reformasi Islam
Reformasi biasanya diartikan sebagai pembaruan melalui pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni.
Gerakan femormasi Islam telah dirintis di Sumatera Barat pada abad ke-19 yang berlanjut ke Jawa dan berbagai daerah lainnya. Jika pada abad ke-19, gerakan itu lebih menekankan pada gerakan salafi melawan kaum adat, pada abad ke-20 lebih menekankan pada pencarian etik modernitas dari dalam melawan tradisonalisme dan kemunduran umat Islam, serta menghadapi Barat yang menjajah mereka.
Pada awal abad ke-20, empat ulama muda Minangkabau kembali dari menuntut ilmu di Mekah. Mereka adalah Syekh Muhammad Taher Jamaluddin (1900), Syekh Muhammad Jamil Jambek (1903), Haji Abdul Karim Amrullah (1906), dan Haji Abdullah Akhmad (1899). Mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seorang imam besar Mazhab syafi’i di Masjid Mekah yang berasal dari Minangkabau. Mereka itu kembali ke Minangkau dengan membawa pemikiran baru.
Perintis pembaruan itu adalah Syekh Taher Jamalludin yang sebagaian besar pengalamannya berasal dari Asia Barat. Majalah Al Imamadalah sarana yang mereka gunakan untuk menyebarkan gerakan pembaruan keluar dari Minangkabau. Di samping itu Al-Imamjuga memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.
- Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan
Kutipan buku Van Miert
“Pada 31 Oktober 1920 anggota dari dua perhimpunan pelajar terbesar di Hindia Belanda, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond berkumpul di sebuah ruangan di Batavia untuk mendengarkan pidato P. Fournier, seorang pimpinan gerakan teosofi Hindia. Itu adalah pertemuan pertama Studiegroep Politiek Wetenshappen kelompok Studi Ilmu Politik)…” Kepala yang dingin dan hati yang gembira”. Begitulah Fournier menyimpulkan kualitas-kualitas terpenting yang harus dipunyai seorang pemimpin politik. Hati yang gembira maksudnya adalah cinta yang menggelora terhadap tanah air, hasrat yang menyala-nyala untuk bekerja demi kemajuan bangsa.” Begitulah jiwa politik yang diharapkan oleh Fournier kepada para pelajar. Bagi Fournier, dalam sosok seorang politikus diperlukan kepala yang dingin, jangan sampai terbawa oleh situasi dan kondisi yang ada oleh pergolakan politik yang ada pada jamannya |
- Organisasi Awal Pergerakan
- Budi Utomo
Pada mulanya organisasi ini orientasinya hanya sebatas pada kalangan priyayi, namun pancaran etnonasionalisme semakin terlihat saat dilaksanakan kongres BU yang diselenggarakan pada 3-5 Oktober 1908, di Yoyakarta. Dalam kongres itu dibahas tentang dua prinsip perjuangan, golongan muda menginginkan perjuangan politik dalam menghadapi pemerintah kolonial, sedangkan golongan tua mempertahankan cara lama yaitu perjuangan sosio-kultural.
Perdebatan itu tidak saja menyangkut tujuan BU tetapi juga pemakaian Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Perdebatan juga menyangkut tentang sikap menghadapi westernisasi. Radjiman berpendapat bahwa “Bangsa Jawa tetap Jawa” dan menunjukkan identitasnya yang masih Jawasentris. Sementara Cipto Mangunkusuma berpendapat bahwa bangsa Indonesia perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur lain sehingga dapat memperbaiki taraf kehidupannya.
Pemerintah Hindia Belanda mengakui BU sebagai organisasi yang sah pada Desember 1909. Dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda ini tidak lain sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis. BU mulai kehilangan wibawanya pada tahun 1935, organisasi itu bergabung dengan organisasi lain menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Keberadaan BO memberikan inspirasi untuk organisasi-organisasi modern lainnya, seperti Jong Sumatra, Jong Ambon, Sedio Tomo, Muhammadiyah, dan lain-lain.
- Sarekat Islam
Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar mampu bersaing dengan bangsa asing.
Gambar rumah Cokroaminoto
Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai politik, SI yang semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad(Dewan Rakyat) dan memegang peran penting dalam Radicale Concentratie,yaitu gabungan perkumpulan yang bersifat radikal. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu pembukaan rapat Volksraadmasih terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera tentang Janji November (November Beloofte).
Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial dan proses demokratisasi dimulai. Ia juga mengatakan, bila saatnya kelak Volksraadmenjadi dewan rakyat, sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraadtidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi alat bagi pemerintah kolonial. Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang.
Dalam kondisi itu Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000 orang. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator yang cerdas.
Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato dengan berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno. Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin oleh Semaun.
Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai. Di lain pihak, SI yang mendapat pengaruh PKI menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan bentukan PKI. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial.
Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Dalam konggres Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI. Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta.
Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari PARII di bawah pimpinan Dr. Sukiman.
- Indische Partij (IP)
Sejumlah orang dari golongan Indo Belanda itu kemudian mendirikan perkumpulan Indische Bond (1898). E.F.E Douwes Dekker yang kemudian berganti nama Dr. Danudirjo Setiabudhi berkeinginan untuk melanjutkan Indische Bondsebagai organisasi politik yang kuat. Keinginan Douwes Dekker itu semakin menguat saat ia bertemu dengan dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro. Mereka kemudian dikenal dengan “Tiga Serangkai”.
Douwes Dekker adalah cucu Eduard Douwes Dekker atau Multatuli, seorang penulis Max Havelaaryang membela petani Banten dalam masa Tanam Paksa. Ia seorang campuran ayah Belanda dan ibunya Indo. Pengalaman hidupnya itulah yang menjiwai gerak politiknya. Bersama-sama dengan Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo maka dibentuklah Indische Partij(IP) pada tahun 1912. Keinginan IP untuk mewujudkan cita-citanya itu mendapat respon positif dari masyarakat saat itu.
Kedekatan Douwes Dekker dengan pelajar STOVIA di Jakarta membuka peluang bagi pemuda terpelajar saat itu untuk menuangkan gagasan-gagasan mereka dalam surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, saat ia menjadi redaktur surat kabar itu. Pengaruh BU juga mendasari jiwa Douwes Dekker saat ia melakukan propaganda ke seluruh Jawa dari tanggal 15 September hingga 3 Oktober 1912. Dalam perjalanannya itu ia menyelenggarakan rapat-rapat dengan elit lokal di Yogjakarta, Surakarta, Madiun, Surabaya, Tegal, Semarang, Pekalongan, dan Cirebon.
Bagi pemerintah kolonial keberhasilan IP mendapat simpatisan dari masyarakat merupakan suatu yang berbahaya. Organisasi itu kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan berbahaya (pertengahan 1913). Pemimpinnya kemudian ditangkap dan dibuang. Douwes Dekker diasingkan ke Timor, Kupang. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Bkamu. Suwardi Suryaningrat dibuang ke Bangka. Tiga Serangkai itu kemudian dibuang ke Negeri Belanda. Pembuangan Tiga Serangkai.
Karena alasan kesehatan, pada 1914 Cipto Mangunkusumo dipulangkan ke Indonesia. Douwes Dekker dipulangkan pada 1917 dan Ki Hajar Dewantoro dipulangkan pada 1918. Setelah IP dibubarkan dan pimpinannya menjalankan pembuangan organisasi itu kemudian bernama Insulinde. Namun organisasi itu kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Kemudian tahun 1919 berganti nama menjadi Nationaal Indische Partij(NIP). Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa (1922), sebagai badan perjuangan kebudayaan dan perjuangan politik.
- Organisasi Keagamaan
- Muhammadiyah
Sistem pendidikan dibangunnya dengan cara sendiri, menggabungkan cara tradisional dengan cara modern. Model sekolah Barat ditambah pelajaran agama yang lakukan di dalam kelas. Dalam bidang kemasyarakatan organisasi
ini mendirikan rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu yang dikelola oleh embaga-lembaga. Usaha di bidang sosial itu ditandai dengan berdirinya Pertolongan Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1923. Itulah bentuk kepedulian sosial dan tolong menolong sesama muslim.
Selanjutnya organisasi wanita juga dibentuk dengan nama ‘Aisyiah di Yogyakarta, sebagai bagian dari organisasi wanita Muhammadiah. Nama ‘Aisyiyah terinspirasi dari nama ‘Aisyah, istri nabi Muhammad yang dikenal taat beragama, cerdas, dan rajin bekerja untuk mendukung ekonomi rumah tangga. Diharapkan profil ‘Aisyah juga menjadi profil warga ‘Aisyiyah.
- Nahdlatul Ulama (NU)
Dalam kongres yang diadakan di Surabaya, 28 Oktober 1928, diambil keputusan untuk menentang kaum reformis dan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Paham Wahabi. NU termasuk organisasi yang giat mengubah tradisi berkhutbahnya dari bahasa Arab menjadi bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh jamaahnya. Perubahan cara berpikir pun mulai terlihat yang kemudian diikuti dengan perbaikan organisasi secara lebih modern, lembaga-lembaga sosial mulai didirikan, seperti rumah sakit, rumah yatim piatu, serta sekolah-sekolah. Pada tahun 1935, NU berkembang dengan pesat, NU sudah mempunyai 68 cabang dengan jumlah anggota 6.700. Pada tahun 1938, dalam kongresnya di Menes, Pandeglang, Banten, NU berusaha untuk dapat memperluas pengaruhnya ke seluruh Jawa. Kongres selanjut di Surabaya, tahun 1940, diputuskan untuk mendirikan Wanita Nahdlatul Ulama Muslimat dan pemudanya dibentuklah Organisasi Ansor.
- Organisasi Islam lainnya
Di Sumatra Barat, berdiri Sumatra Thawalib. Organisasi itu didirikan oleh kalangan pemuda Sumatra Barat, tahun 1918. Para pemuda itu mendapat pendidikan Islam di Mekah. Mereka belajar pada Syekh Akhmad Khatib, ketika kembali ke Sumatera Barat, mereka membawa pemikiran Islam modern yang digerakan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh. Organisasi itu bertujuan untuk mengusahakan dan memajukan ilmu pengetahuan dan pekerjaan yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan menurut ajaran Islam. Kemudian organisasi itu berubah menjadi Persatuan Muslim Indonesia yang memperluas tujuan, yaitu Indonesia Merdeka dan Islam Jaya. Sebagai organisasi politik yang radikal, Thawalib kemudian dilarang untuk beraktivitas oleh pemerintah pada tahun 1936.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, organisasi ini didirikan oleh ulama-ulama di Sumatera Barat yang tidak setuju dengan Thawalib, antara lain Syekh Sulaiman ar Rasuly. Mereka juga membuat majalah sebagai sarana menyalurkan gagasan dan ide-ide kemajuan, antara lain Suara Tarbiyatul Islamiyah(SUARTI), Al Mizan, dan Perti Bulanan. Setelah kemerdekaan organisasi itu bernama Partai Tarbiyatul Islamiyah (PERTI). Organisasi yang sejalan dengan PERTI adalah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT). Organisasi PMT ini didirikan oleh Syekh Musthafa Purba, baru pada tahun 1930 juga karena tidak sepaham dengan Thawalib.
Selanjutnya di Bandung berdiri Persatuan Islam (PERSIS). Organisasi itu muncul sebagai reaksi dari pembatasan gerak Jamiyatul Khair, pada tahun 1923 oleh Kiai Hasan. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama dan semangat ijtihat dengan melakukan dakwah dan pembentukan kader melalui madrasah dan sekolah. Di Kalimantan Selatan juga berdiri organisasi yang merupakan kelanjutan dari SI. Usaha SI di bidang pendidikan dilanjutkan dengan mendirikan madrasah Daru Salam. Kegagalan SI juga mendorong masyarakat Aceh untuk melanjutkan perjuangan SI, maka didirikanlah Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi itu dibentuk oleh Tengku M.Daud Beureureh pada 5 Mei 1939. Tujuan organisasi itu meningkatan pendidikan agar terlaksana syari’at Islam dalam masyarakat. Kemudian Nahdatul Wathan yang juga merupakan organisasi kelanjutan SI di Nusa Tenggara barat. Organisasi itu juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran beragama.
- Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI)
Sebagai organisasi yang diakui Jepang MIAI dianggap kurung memuaskan pemerintah Jepang. Pada Oktober 1943 MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi dipimpin oleh K.H. Hasyim Asyari, K.H Mas Mansyur, K.H Farid Ma’aruf, K.H Hasyim, Kartosudarmo, K.H Nachrowi, dan Zainal Arifin.
- Organisasi pemuda
Pemuda Sumatera juga mendirikan persatuan pemuda Sumatera yang dikenal dengan Jong Sumatera Bond. Organisasi itu dirikan pada 1917, di Jakarta. Persatuan itu bertujuan untuk memperkukuh hubungan antarpelajar yang berasal dari Sumatera. juga menumbuhkan kesadaran di antara anggotanya, dan membangkitkan kesenian Sumatera. Tokohnya adalah Moh. Hatta dan Moh. Yamin.
Perkumpulan yang lainnya dibentuk berdasarkan daerah yang ada, antara lain Jong Minahasa, Jong Celebes, dan Jong Ambon. Perkumpulan ini kemudian berfusi dalam Indonesia Muda. Di samping itu juga muncul Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), pada 1925, oleh mahasiswa Jakarta dan Bandung. Tujuan PPPI adalah kemerdekaan tanah air Indonesia Raya. Organisasi bersifat anti-imperialisme. Di Bandung pada tahun 1927, berdiri Jong Indonesia. Berbeda dengan organisasi-organisasi pemuda sebelumnya, organisasi ini sudah bersifat nasional. Organisasi itu kemudian berganti nama Pemuda Indonesia dan organisasi wanitanya bernama Putri Indonesia.
Pada tahun 1926, diadakanlah Kongres Pemuda Indonesia I di Jakarta yang
dihadiri oleh organisasi-organisasi pemuda yang masih bersifat kedaerahan
itu. Meskipun dalam Kongres I itu belum menghasilkan keputusan penting,
namun setidaknya benih-benih kebangsaan dan nasionalisme sudah
ditanamkan pada saat itu.
- Organisasi Wanita
Berbagai aktivitas dilakukan oleh organisasi itu, terutama memberikan beasiswa untuk menunjang pendidikan dan menerbitkan majalah wanita Putri Mardika.Beberapa tokoh yang pernah duduk dalam kepengurusan Putri Mardika, yaitu Sabaruddin, R.A Sutinah, Joyo Pranoto, Rr. Rukmini, dan Sadikun Tondokusumo.
Kartini Fonds, didirikan atas usaha Ny. C. Th. Van Deventer, seorang penasehat Politik Etis. Perkumpulan itu didirikan pada 1912 dengan tujuan untuk mendirikan sekolah Kartini. Pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Corak pergerakan wanita pada mulanya untuk berbaikan kedudukan dalam kehidupan berumah tangga dengan memperbaiki pendidikan dan mempertinggi kecakapan wanita. Di Sumatera Barat didirikan Kerajinan Amai Setia (KAS), yang diketua Rohana Kudus. Organisasi itu bertujuan untuk meningkatkan derajat wanita dengan belajar membaca dan menulis, baik huruf Arab maupun Latin. Juga belajar membuat kerajinan tangan, mengatur rumah tangga, dan pada 1914 Kerajinan Amai Setia itu berhasil mendirikan sekolah perempuan pertama di Sumatera Barat.
Seiring meningkatnya pendidikan pada kaum perempuan, semakin meningkat pula perkumpulan-perkumpulan wanita. Mereka tidak saja bergerak dalam bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Perkumpulan kaum wanita ini juga lahir sebagai organisasi wanita dari organisasi-organisasi pergerakan yang sudah ada. Organisasi yang dimaksud misalnya ‘Aisyiah. Sejak itu, saat K.H. Ahmad Dahlan mendirikan dan mengembangkan organisasi Muhammadiyah, juga mendorong dan memberikan bantuan pada kaum wanita Muhammadiyah untuk mendalami dan mengamalkan ajaran agama Islam. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam organisasi Sopo Tresno, yang kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring.
- Partai Komunis Indonesia
Radikalisme kaum komunis menyebabkan pemerintah Belanda mengusir kaum komunis Belanda untuk pergi dari Indonesia. Dengan kepergian kaum komunis itu maka terjadilah pergantian pimpinan. Tahun 1920 organisasi itu kemudian berganti nama Partai Komunis Hindia dan tahun 1924 berganti menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada saat bersamaan pemerintah Belanda mengadakan penangkapan terhadap orang PKI yang mengadakan aksi politik. Semaun dan Darsono melarikan diri ke Rusia. Kedudukan pimpinan PKI digantikan oleh Tan Malaka. Karena keterlibatan SI dan PKI dalam pemogokan besar-besaran pada tahun 1922, maka Tan Malaka dan Abdul Muis ditangkap dan diasingkan. PKI selanjutnya bergabung dengan Comintern (Communist International).
SI kemudian terpecah menjadi SI Putih dan SI Merah. SI Putih dibawah H. Agus Salim memutuskan hubungan dengan PKI. Meskipun prinsip persatuan dipegang teguh dalam menghadapi pemerintah, tetapi karena kondisi sosio politik menguntungkan PKI bila terus diadakan kerjasama, maka Cokroaminoto pada tahun 1923 melaksanakan “disiplin partai”.
PKI mendapat dukungan dari kalangan buruh. Sebagai akibat dari depresi ekonomi pada 1923, kaum buruh yang bergabung dalam Vereeninging voor Spoor en Tramwegpersoneel(VSTP) mendesak melakukan pemogokan untuk menuntut kenaikan upah. Pada tahun 1926-1927 pemimpin PKI melakukan pemberontakan, pimpinannya kemudian dibuang ke Boven Digul. Tindakan itu merupakan penyimpangan dari pola-pola kaum terpelajar, dengan semangat Kebangkitan Nasional.
- Perhimpunan Indonesia : Manifesto Politik
Banyaknya pemuda-pemuda pelajar di tanah Hindia yang dibuang ke Belanda, semakin menggiatkan aktivitas perkumpulan itu. Jiwa kebangsaan yang semakin kuat diantara mahasiswa Hindia di Belanda mendorong mereka untuk mengganti nama Indische Vereninging menjadi Indonesische Vereeniging(1922). Selanjutnya perkumpulan itu berganti nama Indonesische Vereeniging(1925), dengan pimpinan Iwa Kusuma Sumatri, JB. Sitanala, Moh.Hatta, Sastramulyono, dan D. Mangunkusumo. Nama perhimpunannya diganti lagi menjadi “Perhimpunan Indonesia” (PI). Nama majalah terbitan mereka juga berganti nama Indonesia Merdeka.
PI menjadi organisasi politik yang semakin disegani karena pengaruh Moh. Hatta. Di bawah pimpinan Hatta, PI berkembang dengan pesat dan merangsang para mahasiswa yang ada di Belanda untuk terus memikirkan kemerdekaan tanah airnya.
Foto mahasiswa yang terhimpun dalam PI.
Nama Indonesia mulanya dikembangkan oleh Adolf Bastians ( sarjana
Jerman) yang diambil dari Logan (sarjana Inggris). Namun yang dimaksud Bastians dengan konsep Indonesia, adalah Indonesia secara etnografi, bukan konsep Indonesia seperti saat ini. selanjutnya dalam rapat-rapat menjelang kemerdekaan pandangan etnografi dikalahkan oleh pandangan Ernest Renan tentang nasion yang saat itu masih digunakan sebagai konsep bangsa dan wilayahnya. Para pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda kemudian menggunakan Indonesia sebagai identitas dirinya, tanah airnya, dan nasionnya, serta posisi politiknya. Karena itulah Organisasi Indische Vereeniging berganti nama ke Perhimpoenan Indonesia. Hatta dalam memoarnya menuturkan,” ….Langkah pertama untuk memperkenalkan Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama “INDONESIA” tidak perlu dimajukan dengan resolusi. Selama aku di sana dan setelah mendengar pidatoku pada pembukaan Kongres itu, semuanya menyebut Indonesia. orang-orang Belanda, yang pada pidato permulaan masih menyebut “Hindia Belanda”, kata itu tidak diulang mereka lagi, dalam perdebatan maupun dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka keluar, kepada kawan dan keterangan umum, mereka menyebut “INDONESIA”. Apalagi setelah bertukar pikiran dengan aku. Dalam pimpinan agenda Kongres, nama Indonesia telah terekam, tidak dapat ditukar kembali dengan “Indes Neerlandises”.” |
- Taman Siswa
Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut wuri Hkamuyani”. Artinya, “guru di depan harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin kerjasama, dan di belakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan. Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan Barat dan pondok pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli Indonesia. Taman Siswa mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan Undang-Undang Ordonansi Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai politik.
- Organisasi Buruh
Pada bulan Agustus 1918, Suryopranoto membentuk gerakan kaum buruh bernama Prawiro Pandojo ing Joedoatau Arbeidsleger(tentara buruh) yang merupakan cabang dari Adhi Dharma. Organisasi ini didirikan sebagai dampak dari terjadinya aksi perlawanan kaum buruh pabrik gula di Padokan (sekarang pabrik gula Madukismo), Bantul, Yogyakarta. Bulan November 1918, Suryopranoto mendeklarasikan berdirinya Personeel
Fabriek Bond(PFB) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota kuli kencengatau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoem (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. PFB didirikan untuk membela kepentingan kaum buruh yang terus mengalami penindasan.
- Menganalisis Proses Penguatan Jati Diri Bangsa
Sumpah Pemuda dapat kita lihat sebagai perwujudan dari sebuah peristiwa besar, yaitu berkumpulnya organisasi-organisasi pemuda terpelajar untuk melakukan “Kongres Pemuda”. Sumpah Pemuda dipandang sebagai pengakuan fundamental dari sebuah bangsa yang masih dalam tahap pembentukan. Ia terbentuk melalui kurun yang waktu panjang. Harus diingat Sumpah Pemuda itu memiliki makna yang strategis dalam rangkaian untuk mengembangakan rasa persatuan dan proses penguatan jati diri bangsa, Pada bagian ini kita akan mendalami tentang materi yang terkait dengan “Penguatan Jati Diri Bangsa” yang bermula dari peristiwa Sumpah Pemuda.
- Menuju Sumpah Pemuda
- Gerakan Pemuda
Tujuh tahun setelah didirikannya Budi Utomo, pemuda Indonesia mulai
bangkit meskipun dalam loyalitas kepulauan. Perubahan pesat dan radikal
dari organisasi-organisasi pemuda saat itu semakin meluas untuk mencapai
cita-cita persatuan. Maka pada 30 April – 2 Mei 1926, diadakannya rapat
besar pemuda di Jakarta, yang kemudian dikenal dengan Kongres Pemuda
Pertama. Kongres itu diketuai oleh M. Tabrani.
Tujuan kongres itu adalah untuk mencapai perkumpulan pemuda yang tunggal, yaitu membentuk suatu badan sentral dengan maksud memajukan paham persatuan kebangsaan dan mempererat hubungan antara semua perkumpulan-perkumpulan pemuda kebangsaan.
Soemarto tampil sebagai pembicara dengan topik “Gagasan Persatuan Indonesia”. Bahder Djohan tampil dengan topik “Kedudukan Wanita dalam
Masyarakat Indonesia”. Nona Adam yang menyampaikan gagasannya tentang “Kedudukan Kaum Wanita”. Djaksodipoero berbicara tentang “Rapak Lumuh”. Paul Pinontoan berbicara tentang “Tugas Agama di dalam Pergerakan Nasional”. Muhammad Yamin berbicara tentang “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.
Gagasan yang disampaikan oleh Yamin dalam kongres itu merupakan pengulangan dari pidatonya yang disampaikan dalam Lustrum I Jong Sumatranen Bond. Saat itu pidato Yamin mendapat komentar dari Prof. Dr. Hooykes, bahwa kelak Yamin menjadi pelopor bagi usaha penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan pergaulan di Indonesia, dan bahasa Belanda akan terdesak oleh karenanya.
Keputusan mendasar dari Kongres Pemuda I adalah kongres mengakui dan menerima cita-cita persatuan Indonesia. meskipun belum dinyatakan dengan jelas. Sebagai tindaklanjut dari kongres itu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Batas, Sekar Rukun, Vereeniging voor Ambonsche Studeerenden dan Komite Kongres Pemuda I mengadakan pertemuan, pada 15 Agustus 1926.
Sementara itu untuk menghapus penjajahan yang merugikan rakyat Indonesia dibentuklah Perhimpunan Pelajar-Pelajar di Indonesia (PPPI) di Jakarta, September 1926. PPPI bertujuan untuk memperjuangkan Indonesia merdeka. Aktivitas PPPI meliputi gerakan pemuda, sosial, dan politik. Ketua perkumpulan itu Soegondo Djojopoepito, tokoh-tokoh lainnya adalah Muh. Yamin, Abdullah Sigit, Suwiryo, Sumitro Reksodiputro, A.K. Gani, Tamzil, Sunarko, Amir Syarifuddin, dan Sumanang. Perhimpunan itu sering berkumpul di Indonesische Clubgebouwyang terletak di Jl. Kramat No 106, Weltevreden. Mereka mempunyai hubungan antaranggota yang sangat dekat dan tidak formal.
Pada 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II dilaksanakan di gedung Indonesische Clubgebouw. Saat itu kongres dihadir sekitar 1000 orang. Dalam kesempatan itu Muh. Yamin menyampaikan pidatonya dengan judul “Dari Hal Persatoean dan Kebangsaan Indonesia”. Pada hari kedua kongres dibicarakan tentang masalah-masalah pendidikan, pembicara saat itu antara lain Ki Hadjar Dewantara, S. Mangoensarkoro, Djokosarwono, Ramelan, Mr. Soenario, dan Poernomowoelan.
Dalam rapat-rapat di PPPI, Yamin selalu menentang ide fusi dari perkumpulan yang ada. Sebagai pemuda Sumatera Yamin berkeinginan untuk memilih federasi dari perkumpulan-perkumpulan yang ada. Keinginannya itu lebih cenderung agar perkumpulan lebih bebas bergerak. Namun saat Kongres Pemuda berlangsung, Yamin berubah pikiran, ketika itu Mr. Soenario sedang berpidato. Sebagai sekretaris, ia memberi resolusi dalam rapat itu, yaitu menjunjung tinggi persatuan dan perkumpulan pemuda yang ada. Adapun isi putusan tersebut adalah :
……….Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan :
Pertama : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe Bertoempaah darah yang satoe, tanah Indonesia; Kedoea : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mengakoe Berbangsa yang satoe bangsa Indonesia; Ketiga : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia. |
Peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 itu merupakan puncak pergerakan nasional. Karena itulah kita memperingatinya sebagai peristiwa bersejarah yang diperingati setiap tahun hingga saat ini sebagai hari besar nasional.
Selanjutnya organisasi-organisasi pemuda itu mengadakan persiapan-persiapan untuk mengadakan fusi. Jong Java sebagai organisasi terbesar dan tertua waktu itu, menyetujui ide fusi itu dalam Kongres ke-11, tanggal 25-29 Desember 1928 di Yogyakarta. Sebagai kelanjutan kongres itu Jong Java membubarkan diri dan bergabung dengan Indonesia Muda. Komisi Besar Indonesia Muda kemudian menyelenggarakan kongres untuk mendirikan badan fusi yang bernama Indonesia Muda di Gedung Habiprojo Surakarta yang diselenggarakan pada tanggal 28 Desember hingga 2 Januari 1931.
Dengan berdirinya Indonesia Muda secara otomatis perkumpulan Jong Java, Jong Celebes, Perhimpunan Indonesia, dan Pemuda Sumatera membubarkan diri. Tampuk pimpinan Indonesia Muda kemudian diserahkan kepada Pedoman Besar Indonesia Muda. Tokoh-tokoh yang menandatangani deklarasi Indonesia Muda itu adalah Kuncara Purbopranoto, Muhammad Yamin, Jusupadi, Sjahrial, Assat, Suwadji Prawirohardjo, Adnan Gani, Tamzil, Sujadi, dan Pantouw.
Indonesia Muda bertujuan membangun dan mempertahankan keinsyafan antara anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. Untuk mewujudkan tujuan itu dikembangkan sikap saling menghargai dan memelihara persatuan semua anak Indonesia, dengan mengadakan kursus-kursus untuk memberantas buta huruf, memajukan olah raga, dan lain sebaginya. Diadakannya Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda tersebut nampaknya ikut semakin menyemangati perjuangan organisasi pergerakan perempuan di Indonesia.
Sementara itu gerakan organisasi pemuda terus mengalami kemajuan. Pada 31 Desember 1931, diselenggarakan rapat besar Indonesia Muda. Sementara itu gerakan organisasi pemuda terus mengalami kemajuan. Pada 31 Desember 1931, diselenggarakan rapat besar Indonesia Muda.
- Bangkitnya Nasionalisme Modern
Sukarno juga turut serta memprakarsai berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 1927. Pada 28 Oktober 1928 organisasi ini ikut menyatakan ikrar tentang tanah air yang satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
Sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI) terus mendapat tekanan dari Belanda. Sukarno sebagai pimpinan PNI karena aksi-aksi yang dengan radikal terhadap pemerintah Belanda, akhirnya ditangkap dan diadili. Menjelang vonis pengadilan dijatuhkan, Sukarno sempat mengucapkan pidato pembelaan untuk membakar semangat para pejuang. Pidato pembelaan itulah yang kemudian dibukukan dengan judul: “Indonesia Menggugat”. Putusan pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman kurungan kepada Sukarno.
Selama Sukarno menjalani masa penahanannya PNI pecah menjadi dua, Partai Indonesia (Pertindo) dan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI Baru. Sukarno masuk dalam Partai Indonesia dan PNI Baru dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Sjahrir.
Partai Indonesia pimpinan Sukarno lebih menekankan pada mobilisasi massa, sedangkan Hatta dan Sjahrir lebih menekankan pada organisasi kader yang akan menentang tekanan pemerintah kolonial Belanda dengan keras dan lebih menanamkan pemahaman ide nasionalisme. Namun demikian kedua strategi politik itu belum mencapai hasil yang maksimal.
Sukarno dengan ide-ide nasionalisme itu memang terus diawasi. Selepas dari Penjara Sukamiskin kemudian diasingkan ke Ende, Flores , Nusa Tenggara Timur. Ia ditempatkan di sebuah rumah (konon rumah ini milik Haji Abdullah). Bersama keluarganya, Sukarno selama empat tahun (1934-1938) diisolasi dijauhkan dari dinamika perjuangan kebangsaan.
Sukarno ternyata tidak hanya diisolasi, sebagai tahanan pemerintah, Sukarno justru masih harus berjuang untuk menghidupi anggota keluarganya. Inilah perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan Sukarno di pengasingan.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergearkan untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme internasional.
Sementara Sukarno dan beberapa tokoh lain ditahan, organisasi pergearkan untuk menentang Belanda terus berjalan. Kelompok yang beraliran Marxis mendirikan Gerakan Rakjat Indonesia (Gerindo) di bawah kepemimpinan Amir Sjarifuddin dan A.K. Gani. Partai ini cenderung menampakkan faham fasisme internasional. Di Sumatera Timur, PNI, PKI, Permi, dan Partindo pemimpinnya berasal dari organisasi-organisasi radikal dari tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu Gabungan Politik Indonesia (GAPI) didirikan pada tahun 1939. Tokoh pendiri GAPI adalah Muhammad Husni Thamrin. Dalam gabungan itu, Gerindo berada dalam satu arah dengan Parindra yang dipimpin oleh Thamrin dan sebelumnya oleh Sutomo. Parindra adalah partai politik Indonesia yang paling berpengaruh di Hindia, karena keberhasilannya dalam pemilihan di volksraad. Thamrin kemudian memimpin front Indonesia bersatu di dalam Volksraad yang disebut Fraksi Nasional.
- Perjuangan di Volksraad
Penangkapan pimpinan PNI menjadi pembicaraan di kalangan Fraksi Nasional. Mereka mengecam tindakan pemerintah terhadap ketidakadilan yang diterapkan terhadap gerakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
Fraksi Nasional juga menolak usulan pemerintah untuk memperkuat pertahanan yang dapat menghabiskan biaya yang besar. Ini berarti menambah kesengsaraan rakyat karena situasi ekonomi saat itu sedang mengalami depresi. Menurut Fraksi Nasional lebih baik biaya itu digunakan untuk meningkatkan kesejateraan rakyat. Kericuhan sempat muncul dengan adanya Petisi Sutardjo pada 15 Juli 1936, dalam sidang Volksraad. Petisi itu menyuarakan tentang kurang giatnya pergerakan nasional dalam pergerakan yang disebabkan oleh tidak adanya saling pengertian dari pihak pemerintah.
Sutardjo Kartohadikusumo, yang saat itu sebagai ketua Persatuan Pegawai Bestuur/Pamong Praja Bumi Putera dan wakil dari organisasi itu di Volksraad, mendapat dukungan dari beberapa wakil golongan dan daerah dari Volksraad mengusulkan diadakan suatu musyawarah antara wakil Indonesia dan Kerajaan Belanda untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang dapat berdiri sendiri meskipun dalam ruang lingkungan Kerajaan Belanda. Petisi itu melahirkan pro dan kontra, baik di kalangan Indonesia dan Belanda.
Petisi itu mendapat persetujuan mayoritas dari anggota Volksraad, selanjutnya disampaikan pada pemerintah kerajaan dan parlemen Belanda. Petisi itu tanpa melalui perdebatan ditolak oleh pemerintah Belanda pada 16 November 1938. Alasan penolakan petisi adalah Indonesia belum siap untuk memikul tanggungjawab memerintah diri sendiri. Bangsa Indonesia juga dinilai belum mampu untuk berdiri apalagi menjadi negara yang merdeka.
PETISI SUTARDJO:
belah pihak,
|
Partai Indonesia Raya didirikan di Solo pada Desember 1935. Partai ini merupakan gabungan dari dua organisasi yang berfusi yaitu BU dan PBI. Sebagai ketuanya dipilih dr. Sutomo. Tujuan partai adalah mencapai Indonesia Raya dan mulia yang hakekatnya mencapai Indonesia merdeka.
Di Jawa anggota Parindra banyak berasal dari petani, mereka kemudian disebut dengan kaum kromo. Di daerah lain masuk kaum Betawi, Serikat Sumatera, dan Sarikat Selebes. Partai ini adalah yang mengajukan petisi Sutardjo yang ditandatangani oleh Sutardjo, penandatanganan pertama, yang lainnya I.J.Kasimo.dr. Sam Ratulangi, Datuk Tumenggung, Kwo Kwat tiong, dan Alatas.
b. Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
Kegagalan Petisi Sutardjo mendorong gagasan untuk menggabungan organisasi politik dalam suatu bentuk federasi. Gabungan Politik Indonesia (GAPI) itu diketuai oleh Muh. Husni Thamrin. Pimpinan lainnya adalah Mr. Amir Syarifuddin, dan Abikusno Tjokrosuyoso. Alasan lain dibentuknya GAPI adalah adanya situasi internasional akibat meningkatnya pengaruh fasisme. Kemenangan dan kemajuan yang diperoleh negara fasis yaitu,
Jepang, Jerman, Italia tidak menggembirakan Indonesia. Karena itu pers Indonesia menyerukan untuk menyusun kembali baris dalam suatu wadah persatuan berupa “konsentrasi nasional”.
Parindra berpendapat pentingnya untuk perjuangan ke dalam, yaitu menyadarkan dan menggerakan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintahan sendiri, serta menyadarkan pemerintah Belanda akan cita-cita bangsa Indonesia. Juga mengadakan perubahan pendekatan dengan organisasi-organisasi politik untuk membicarakan masa depan bangsa Indonesia.
Pada 21 Mei 1939, dalam rapat pendirian konsentrasi nasional di Jakarta berhasil didirikan suatu organisasi yang merupakan kerjasama partai politik nasional di Jakarta yang diberi nama Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI).
Untuk mencapai tujuannya GAPI membentuk Kongres Rakyat Indonesia (KRI). Tujuan kongres untuk kesempurnaan Indonesia dan cita-citanya, yaitu Indonesia Berparlemen penuh. Keputusan penting lainnya adalah penetapan bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu persatuan Indonesia.
Saat Jerman menyerbu Polandia GAPI mengeluarkanManifest GAPI(20 September 1939). Isi manifest itu mengajak rakyat Indonesia dan Negeri Belanda untuk bekerjasama menghadapi bahaya fasisme.
Pada Agustus 1940, saat negeri Belanda dikuasai Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam darurat perang, GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hukum tata negara dalam masa genting. Isi resolusi adalah mengganti Volksraaddengan parlemen sejati yang anggotanya dipilih rakyat dan mengubah fungsi kepala departemen menjadi menteri yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Pada 14 September 1940 dibentuk Commissietot besudeering van staatsrechtelijke Hervormigen. Komisi itu dikenal dengan komisi Visman, karena diketuai oleh D. Visman.
Pertemuan wakil GAPI dengan komisi Visman pada 14 Februari 1941 di Gedung Raad van Indie, di Jakarta tidak menghasilkan hal baru. Pertemuan itu hanya menambahkan kekecewaan pada kalangan pergerakan sehingga ada anggapan GAPI tidak radikal lagi.
- Masa Berakhirnya Pemerintahan Kolonial
Selama masa 1920-an, Politik Etis mulai kehilangan prinsip-prinsip asosiasinya. Politik Etis kemudian dipandang sebagai tugas kemakmuran yang tetap berjalan dalam pengamanan masyarakat Indonesia. Pada akhir 1920-an, pergerakan yang dilakukan kaum terpelajar mengarah pada nasionalisme sebagai arahan politiknya. Berbeda dengan bentuk-bentuk pergerakan lama yang didasari pada ideologi Pan-islamisme dan komunisme. Hal itu terlihat pada gerakan-gerakan mereka di bidang sosial dan ekonomi. Pada 1930-an pikiran-pikiran asosiasi dilahirkan kembali seperti yang disebut dengan Gerakan Stuw yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kolonial yang progresif dan berusia muda, hal itu tidak juga memperbaiki kemerosotan rencana-rencana pemerintah kolonial, sampai akhirnya datangnya Jepang.
sumber :
https://feranianggraini23.wordpress.com/2014/11/06/sejarah-smk-kelas-xi-bab-3-semester-1/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar