Masjid–Masjid
yang Mempunyai Unsur Hindu, Budha, dan Cina
Masjid
adalah tempat ibadah orang islam. Di Indonesia banyak masjid yang berakulturasi
dengan kebudayaan hindu, budha, maupun cina. Salah satu penyebab akulturasi tersebut
adalah para penyebar agama islam dahulu ingin menyebarkan islam di daerah
tertentu tanpa menghilangkan unsur kebudayaan di masyarakat tersebut.
Masjid-masjid tersebut diantaranya :
1. Masjid Demak
Masjid Agung Demak
adalah sebuah mesjid tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman,
Demak, Jawa Tengah. Pengaruh budaya hindu masih sangat melekat
dalam arsitektur Masjid Agung Demak. Salah satu bukti yang paling terlihat
adalah pola atap tumpang tiga. Pola atap tumpang tiga merupakan bentuk dari
meru, atau atap pura tempat ibadah agama hindu. Selain Hindu,
arsitektur Masjid Agung Demak juga dipengaruhi unsur India. Pengaruh India
dalam hal ini yang dibawa oleh orang Gujarat, jelas Nampak adanya hubungan
perdagangan yang dekat antara Masyarakat pesisir Jawa seperti di Demak dengan
para pedagang Gujarat di India. Keterkaitan tersebut ditunjukan dari bahan baku
Batu Nisan yang terdapat di Kompleks Masjid Agung Demak.
Bahan
baku batu nisan Raden Patah misalnya, menggunakan Marmer putih. Marmer ini
jelas bukan berasal dari Indonesia, tetapi berkemungkinan kuat berasal dari
India. Penggunaan marmer putih sebagai bahan baku batu nisan sebenarnya juga
telah digunakan oleh muslim India.
Pengaruh
Cina juga terlihat dari bangunan Masjid Agung Demak. Bukti tersebut yakni
adanya piring-piring cina yang terpajang di bagian pintu masuk makam di
kompleks Masjid Agung Demak.
2.
Masjid Menara Kudus
Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai
mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan
Kudus pada tahun 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu
dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama dan terletak di desa
Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan
Mesjid Al Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549
Masehi atau tahun 956 Hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari
Palestina sebagai batu pertama dan terletak di desa Kauman, kecamatan Kota,
kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah
menara berbentuk candi bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang
besar saja, tetapi juga keunikan bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk
ini tidak akan kita temui kemiripannya dengan berbagai menara masjid di seluruh
dunia. Bangunan
menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada bagian
dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan
Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan
diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya.
3. Masjid
agung Banten
Menurut tradisi, rancangan bangunan utama masjid yang beratap
tumpuk lima ini dipercayakan kepada arsitek Cina bernama Cek Ban Cut. Selain
jumlah tumpukan, bentuk dan ekspresinya juga menampilkan keunikan yang tidak
ditemui kesamaannya dengan masjid-masjid di sepanjang Pulau Jawa, bahkan di
seluruh Indonesia.
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik.
Yang paling menarik dari atap Masjid Agung Banten adalah justru pada dua tumpukan atap konsentris paling atas yang samar-samar mengingatkan idiom pagoda Cina. Kedua atap itu berdiri tepat di atas puncak tumpukan atap ketiga dengan sistem struktur penyalur gaya yang bertemu pada satu titik.
4. Masjid
Sultan Suriansyah
Masjid Sultan Suriansyah adalah sebuah masjid bersejarah yang
merupakan masjid tertua di Kalimantan Selatan. Masjid ini dibangun di masa
pemerintahan Sultan Suriansyah (1526-1550), raja Banjar pertama yang memeluk
agama Islam. Masjid ini terletak di Kelurahan Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin
Utara, Kota Banjarmasin. Arsitektur mesjid Agung Demak sendiri dipengaruhi
oleh arsitektur Jawa Kuno pada masa kerajaan Hindu.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi.
Identifikasi pengaruh arsitektur tersebut tampil pada tiga aspek pokok dari arsitektur Jawa Hindu yang dipenuhi oleh masjid tersebut. Tiga aspek tersebut : atap meru, ruang keramat (cella) dan tiang guru yang melingkupi ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan Bali. Bentuk atap yang bertingkat dan mengecil ke atas merupakan lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan ke atas. Bangunan yang dianggap paling suci dan dan penting memiliki tingkat atap paling banyak dan paling tinggi.
5. Masjid
Mantingan
Masjid dan Makam Mantingan
terletak di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, 5 km selatan Kota Jepara. “Masjid
Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok,
dan demikian juga dengan undak-undakannya. Semua didatangkan dari Makao.
Bangunan atap termasuk bubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam
dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru. Sedang dinding sebelah tempat
imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan
penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua. Bahkan ukir-ukiran kayu
yang indah bergaya Cina di makam dalam komplek Masjid Mantingan diperkirakan
orang setempat sebagai karya Tjie Wie Gwan.
6. Masjid
Cheng Ho di palembang
Masjid Cheng Ho punya desain arsitektur yang unik, yang memadukan unsur-unsur budaya lokal Palembang dengan nuansa Cina dan Arab. Masjid yang dibangun di atas tanah 5.000 meter persegi ini berada di sebuah kompleks perumahan kelas menengah. Menara di kedua sisi masjid meniru klenteng-klenteng di Cina, dicat warna merah dan hijau giok.
Masjid ini mulai digunakan sejak Agustus 2008. Tidak ada pembatas yang memisahkan jamaah laki-laki dan perempuan di dalam masjid. Laki-laki salat di lantai pertama, sedang perempuan di lantai kedua. Di lingkungan masjid ini ada sebuah rumah kecil buat imam, sebuah kantor, sebuah perpustakaan, dan sebuah ruang serbaguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar